Gempur86-Garut- Seorang pasien BPJS Kesehatan diduga ditolak oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet Kabupaten Garut. Peristiwa itu terjadi saat Ajid membawa istrinya yang akan melahirkan di rumah sakit tersebut.
Menurut Ajid, suami dari pasien atas nama Ny Lia warga Jalan Ciledug No. 271 Kota Kulon, Garut Kota ini menerangkan, saat ia mengajukan administrasi untuk pasien BPJS Kesehatan tidak diterima karena ada perbedaan antara NIK KTP dengan NIK BPJS sehingga ia memperbaikinya atas saran dari petugas pelayanan rumah sakit.
"Karena beda antara NIK yang di KTP dengan NIK BPJS, pihak rumah sakit menyuruh data tersebut diperbaiki. Proses perbaikan ini membutuhkan waktu 2 hari, jadi tidak beres hari senin, perbaikan ini kan mulai dari Kelurahan, Kecamatan, Disdukcapil sampai Dinas Sosial," ungkapnya, Kamis (28/3/24).
Saat perbaikan data di Dinsos, sambung Ajid, pihak Dinsos meminta keterangan rawat inap dari rumah sakit. Tapi, setelah meminta kepada pihak rumah sakit tidak memberikan dengan alasannya pasiennya sudah dipulangkan malah dimasukan menjadi pasien umum dengan biaya yang cukup memberatkan.
"Dinsos minta keterangan inap rumah sakit untuk melengkapi persyaratan perbaikan BPJS dari rumah sakit, saat minta ke rumah sakit tidak ngasih malah jadi pasien umum dengan biaya perawatan sebesar Rp. 6 juta," imbuh Ajid.
Lebih lanjut, kata Ajid, karena tak mampu membayar pihak rumah sakit sempat menahan anaknya (bayi) di rumah sakit dengan alasan belum sehat.
"Anak saya ditahan sejak tanggal 21 karena belum bisa melunasi pembayaran, tapi alasan rumah sakit katanya belum sehat. Setelah dibayar Rp. 3 juta akhirnya bisa dibawa pulang, tinggal sisa tunggakan Rp. juta lebih lagi," ujar Ajid.
Terpisah, praktisi hukum Herry Battileo, SH mengatakan, bahwa UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan telah menjamin rakyat Indonesia untuk mendapatkan akses kesehatan (pasal 5) dan pemerintah bertanggung jawab atas akses kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau (pasal 9). Hal ini muncul karena tergugah dengan kenyataan dilapangan bahwa terdapat praktek penahanan bayi sebagai jaminan dalam proses pembayaran persalinan di Rumah Sakit.
"Permasalahan dasarnya adalah bagaimana praktik penahanan bayi sebagai jaminan dalam proses persalinan di rumah sakit dan dan juga dalam hukum Islam dan hukum positif terhadapnya", kata Herry.
Dari hasil penelitian, tambah Herry ditemukan bahwa: pertama, terdapat kasus penahanan bayi sebagai jaminan agar keluarga pasien melunasi biaya persalinan, bayi tersebut bisa dibawa pulang setelah biaya persalinan dapat dilunasi. Kedua, dalam akad kafalah, Islam tidak membolehkan bayi digunakan sebagai barang jaminan sebab bayi bukanlah barang yang dimaksud dalam jaminan. Namun penahanan bayi ini diperbolehkan dengan cara bayi itu dirawat dengan baik.
"Pihak rumah sakit sudah memenuhi kewajibannya namun dari pihak pasien belum bisa memenuhi kewajibannya. Sedangkan berdasarkan hukum positif, pasien dianggap wanprestasi karena pihak rumah sakit sudah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan fasiltas dan pelayanan kesehatan sedangkan pasien belum melaksanakan kewajibnnya untuk melunasi biaya administrasi.
Kemudian tindakan penahanan bayi sebagai jaminan tidak diperbolehkan karena bayi bukan termasuk objek jaminan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata". Pungkasnya.
(D 70 MI)